Rote Ndao, nwartapedia.com — Ombak tidak mampu menghalangi langkah kasih. Rabu pagi, 16 Oktober 2025, sebuah perahu kecil menantang gelombang di lautan selatan Pulau Ndao, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur.
Di atasnya, berdiri tegap sosok berjubah putih. Bukan pelancong. Bukan pejabat. Ia adalah Mgr. Hironimus Pakaenoni, Uskup Agung Kupang, yang datang membawa sapaan kasih bagi umat Katolik di pulau terpencil itu.
Momen kedatangan beliau terekam dalam video yang kini tersebar luas di kalangan umat. Terlihat Mgr. Hironimus turun dari perahu dibantu para nelayan dan warga setempat, sementara deburan ombak tak berhenti menghempas. Namun wajahnya tenang mencerminkan keteguhan seorang gembala sejati.
“Beliau datang bukan membawa perintah, tapi membawa pelukan kasih,” ujar Pastor Erick Fkun, Pr, yang setia mendampingi perjalanan pastoral tersebut.
Kunjungan ini menjadi perwujudan nyata dari moto kegembalaan Mgr. Hironimus: “Pasce Oves Meas” — Gembalakanlah domba-domba-Ku (Yoh. 21:17).
Di tengah keterbatasan dan kesunyian pulau kecil yang dikelilingi lautan biru, sang uskup tidak hanya memimpin misa dan mendoakan umat, tetapi juga duduk bersama mereka, mendengar kisah hidup, perjuangan, dan harapan yang tersembunyi di balik senyum mereka.
“Uskup datang bukan untuk dilayani, tapi untuk melayani,” kata seorang ibu paroki dengan suara bergetar.
“Kami merasa diperhatikan, diingat… dan itu artinya segalanya bagi kami.”tambahnya.
Di kapela kecil di tepi pantai, homilinya sederhana, namun sarat makna. Mgr. Hironimus mengajak umat untuk tidak menyerah dalam menghadapi tantangan hidup, dan terus percaya bahwa kasih Tuhan melintasi segala batas: “Kasih Allah menyeberangi laut, melampaui badai, dan sampai kepada hati yang berserah.”
Umat Ndao pun menanggapi dengan air mata dan hati yang terbuka. Saat sang uskup menumpangkan tangan dan berdoa bagi anak-anak, orang sakit, hingga para nelayan, suasana berubah hening dan penuh haru. Banyak yang tidak mampu berkata-kata, hanya diam dalam tangis syukur.
Kunjungan pastoral ini bukan sekadar perjalanan, tetapi menjadi ziarah cinta. Ia meninggalkan jejak yang tidak kasat mata, namun terasa kuat: benih harapan, kekuatan iman, dan hangatnya perhatian seorang gembala yang sungguh hadir.
Ketika matahari mulai condong ke barat dan perahu kecil itu kembali menjauh dari dermaga, umat Ndao melambaikan tangan dengan senyum dan air mata.
Ia datang tanpa hiruk pikuk, dan pergi meninggalkan sesuatu yang lebih berarti Cinta yang tinggal. Harapan yang tumbuh.
Di tengah gemuruh ombak dan angin sore, pesan Sang Gembala masih bergema: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” (goe)